Saya tidak begitu kaget ketika pemerintah pusat pada akhirnya mengendurkan aturan mengenai Pembatasan Sosial Berskala Besar yang sudah berlangsung di beberapa daerah di Indonesia. Tanpa perlu ikut campur dalam riuh keruhnya media sosial yang memaki pemerintah, sudah sejak Maret saya menduga negara kita akan mengandalkan skema herd immunity untuk bisa segera mengakhiri pandemi. Semua kebijakan yang diambil oleh pemerintah pusat selama ini berdalih tidak akan menggunakan metode yang juga sempat diterapkan di Belanda, Swedia, dan Inggris serta ditentang WHO ini. Namun apadaya, keterbatasan sumber daya dan tidak siapnya pemerintah pusat dalam menghadapi 'bencana model baru' ini terpaksa membuat kebijakan yang mengarah pada herd immunity pun diterapkan.
Wabah Covid-19 menyerang berbagai negara. Dengan cepat, pagebluk ini menelanjangi setiap pemerintahan di Dunia, apakah mereka siap dan sigap atau sebaliknya. Menurut Rhenald Kasali, seorang akademisi sekaligus praktisi dari Universitas Indonesia, sebanyak 80% bangsa-bangsa memang tidak siap menghadapi pandemi. Namun, kondisi ini jangan dianggap lumrah hingga karena menjelang bulan pandemi melanda, Pemerintah Indonesia masih keteteran dalam mengambil kebijakan yang tepat untuk menangani wabah.
Gagap dan Plin-plan
Sikap ini terlihat pada saat awal hingga pertengahan wabah ketika pemerintah menerapkan aturan Pembatasan Sosial Berskala Besar. Kebijakan ini diambil sebagai bagian Undang-undang Karantina Kesehatan no. 6/2018. Apabila maklumat dalam undang-undang ini diterapkan, maka setiap orang wajib mematuhi dan berperan dalam penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan (pasal 9). Istilah Pembatasan Sosial Berskala Besar muncul pada pasal 49 ayat 1 yang berbunyi...Dalam rangka melakukan tindakan mitigasi faktor risiko di wilayah pada situasi Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dilakukan Karantina Rumah, Karantina Wilayah, Karantina Rumah Sakit, atau pembatasan Sosial Berskala Besar oleh pejabat Karantina Kesehatan.
![]() |
Foto oleh: ANTARAFOTO / Hafidz Mubarak |
Pada praktiknya, PSBB dilaksanakan dengan banyak dasar pertimbangan. epidemologis, besarnya ancaman, efektivitas, dukungan sumber daya, teknis operasional, serta berbagai pertimbangan yang menyangkut aspek ekonomi, sosial, budaya, dan keamanan. Ketika ada salah satu aspek yang tidak terpenuhi, maka besar potensi tujuan pelaksanaan PSBB akan tidak tercapai. Dan benar, pemerintah belum benar-benar siap menerapkan PSBB ketika law enforcement masih rendah, penerapannya benar-benar longgar terutama di kawasan ibukota negara yang sudah lebih dulu mendeteksi wabah. Pemerintah kesulitan menghimpun sumber daya seperti APD guna memproteksi mereka yang di garda terdepan sehingga tak sedikit petugas medis berguguran. Tidak cukup itu, pemerintah juga belum siap 'menyelematkan' masyarakat khususnya dalam aspek ekonomi melalui jaring pengaman sosial, juga rendahnya uji spesimen yang menghasilkan ketidakakuratan penggambaran kondisi wabah sebenarnya yang tengah melanda di lapangan. Pengujian yang minim dan tidak ada penelusuran kontak, justru presiden menurunkan intelejen guna melacak interaksi antar kasus.
Kebijakan yang ditempuh pemerintah guna mendukung PSBB pun simpang siur. Adanya pertentangan sikap antara Presiden sebagai kepala eksekutif dengan Menteri Perhubungan yang menjadi pembantunya menjadi gambaran kekacauan birokrasi selama pandemi. Presiden menginginkan wabah segera menurun pada Mei lalu, namun Menteri Perhubungan kembali mengizinkan transportasi umum untuk beroperasi disaat perbatasan antar daerah dijaga ketat. Berupaya menekan wabah namun mengambil sikap yang kontradiktif adalah panggung sandiwara tersendiri.
Menyerah Pada Solidaritas Masyarakat
Pemerintah gelagapan dalam menangani pandemi, akan tetapi dampak bencana sudah dirasakan masyarakat. Terutama masyarakat kelas menengah yang hidup di ambang garis kemiskinan, sudah merasakan kesulitan seperti hilangnya pemasukan sedangkan tagihan tetap berjalan. Masyarakat dalam kategori ini rentan jatuh ke dalam jurang kemiskinan ketika krisis melanda. Sewaktu pemerintah diharapkan untuk hadir dan menolong mereka, justru buruknya birokrasi menghambat kelompok ini guna mendapat bantuan. Alhasil, masyarakat mengandalkan solidaritas untuk saling membantu.![]() |
Foto oleh: Kanal Muda |
Berbagai LSM dan organisasi masyarakat bahu-membahu membantu kelompok yang rentan. Rekening-rekening donasi dibuka meski donatur bisa menyumbang selain dana. Fenomena ini sebenarnya pemandangan yang lumrah untuk negara yang masyarakatnya masih memperjuangkan asas gotong-royong, namun menjadi ironi tersendiri ketika pemerintah yang harusnya berperan dominan khususnya melalui jaring pengaman sosial tidak lagi mampu mengayomi dan melindungi ke-270 juta penduduknya. Anggaran darurat memang tak terpikirkan sebelumnya. Bahkan ketika potensi wabah sudah terlihat sejak Januari lalu, pemerintah masih sibuk melelang proyek seperti rencana pembangunan jalan tol ketimbang menyiapkan dana darurat guna melindungi atau merestorasi roda ekonomi masyarakat.
Kekacauan Data
Bantuan sosial (bansos) adalah kebutuhan wajib dikala pandemi melanda. Alokasi anggaran negara dan daerah untuk bansos semasa pandemi sangatlah besar. Setidaknya ada tujuh bansos yang dikeluarkan untuk membantu masyarakat menghadapi pandemi. Pertama dari Kementerian Sosial dengan bantuan reguler melalui Program Keluarga Harapan (PKH) senilai Rp. 8,3 triliun dan kartu sembako bantuan pangan non-tunai Rp. 15,2 triliun. Lalu bantuan non-reguler yakni bansos sembako Rp. 3,4 triliun dan bansos tunai Rp. 16,2 triliun. Bantuan juga datang dari Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi. Dana bantuan sebesar Rp. 21,57 triliun mengucur dari instansi ini. Dua bantuan sosial sisanya berasal dari pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. Sayangnya karena rendahnya kualitas data, adanya data tumpang tindih serta assesment yang kurang mendalam, bantuan yang setidaknya seharusnya sudah 3 kali diterima hanya turun 1-2 kali saja. Padahal kalau distribusinya tepat sasaran, setidaknya 52,8 juta atau 69% keluarga nasional mendapatkan bantuan dari total 75,7 juta keluarga di Indonesia.Ketika negara-negara Dunia gencar mengembangkan data raksasa (big data), Indonesia yang sebenarnya telah memiliki serupa terkendala implementasi yang kurang maksimal. Masih banyak pemerintah daerah belum memperbaiki data kondisi sosial demografi masyarakat. Indonesia masih tertatih-tatih dalam menghimpun serta mengelola data ketika negara lain sudah mendayagunakan teknologi supercepat guna asumsi pengambilan keputusan yang tepat. Apalagi di tahun 2020 ada program Sensus Penduduk. Semoga saja Indonesia segera meninggalkan cara kerja trasidional dalam mengelola data.
Melakukan Hal yang Tidak Seharusnya
Pemerintah juga berulang kali salah menentukan prioritas program. Ketika masyarakat membutuhkan bantuan sosial ketika sumber pendapatan hilang, justru yang dikucurkan adalah program Kartu Prakerja yang sama sekali tidak esensial karena materi kontennya serupa di YouTube yang justru dapat diakses gratis.![]() |
Foto oleh: Media Indonesia / Taufan SP. Bustan |
Ketika publik sedang disibukkan oleh wabah Covid-19, justru pemerintah melalui Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) melepaskan ribuan narapidana dari lembaga pemasyarakatan. Mereka menyebutnya sebagai program asimilasi dan integrasi. Meski klaim dari Kemenkumham menyebutkan hanya 0,12% dari 39 ribuan napi mengulangi kejahatan mereka, namun kondisi ini turut memperparah kebatinan masyarakat di tengah pandemi corona sehingga menumbuhkan kecurigaan terhadap orang asing, khususnya di kawasan urban.
Di sisi lain, anggota dewan melakukan rapat pembahasan dan perumusan undang-undang non-esensial ketika masyarakat dengan diambang keprihatinan. Momen wabah memang dimanfaatkan oleh anggota dewan untuk kembali mempercepat perumusan kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat, karena wabah sukses menggagalkan rencana demonstrasi publik. Sekalinya demonstrasi nekat dilakukan, aparat kepolisian akan membubarkan dengan dalih memperlambat penyebaran wabah.
***
Wabah memang belum berakhir hingga artikel ini rilis. Pemerintah sejatinya belum benar-benar memukul martil guna menekan wabah, tapi sudah buru-buru ingin bergoyang. Meski aspek kesehatan dan ekonomi sama-sama penting, seharusnya pemerintah punya prioritas apa yang harus dilakukan, apalagi yang duduk di jajaran bukanlah orang gampangan. Namun melihat realita reaksi pemerintah terhadap kondisi lapangan, sepertinya masyarakat hanya bisa pasrah dengan seleksi alam.