Blog ini sedang dalam masa pemeliharaan.

Tak Hanya Covid-19, Ada Satu Lagi Pandemi yang Kita Hadapi

Pandemi yang satu ini dialami sebagian besar warga Dunia, namun implikasi beratnya akan terjadi belakangan.
Bagi sebagian orang, pandemi Covid-19 adalah penyakit yang mudah dihadapi. Dengan tetap #dirumahaja, mematuhi protokol kesehatan, serta meningkatkan imunitas dengan rajin berolahraga, masalah ini bisa teratasi setidaknya hingga vaksin digunakan secara luas. Namun bagi sebagian lainnya, pandemi bisa 'menghantam' secara berbeda.



Jauh sebelum pandemi Covid-19 merebak, masyarakat telah dihadapkan pada pandemi psikologis yakni kesepian. Istilah 'kesepian' pertama kali dikenal pada saat revolusi industri di Inggris abad ke-18, yang mana membuat masyarakat berbondong-bondong melakukan urbanisasi ke kota guna mencari penghidupan yang lebih baik. Kesepian baru dikenalkan oleh para ahli sebagai krisis kesehatan publik setidaknya pada 1970-an di beberapa media besar Amerika Serikat. Artikel-artikel ini dirilis sebagai bentuk respon perubahan sosial skala besar yang tidak hanya terjadi di AS saja, bahkan seluruh Dunia.


Bagaimana Sistem Pertemanan Bekerja? 

Robin Dunbar, antropolog berkebangsaan Inggris menggambarkan jumlah maksimal teman yang bisa dimiliki oleh seseorang. Hasilnya, 150 adalah angka maksimal yang dipertahankan seseorang dalam hubungan pertemanan. Jumlah ini menjadi relevan karena adanya keterbatasan emosional yang dimiliki tiap orang. Dunbar meyakini adanya batasan dalam kapasitas otak (neokorteks) seseorang yang memengaruhi hubungan sosial yang dipertahankan, dan 150 adalah angka konsisten maksimal yang didapatkan dari hasil analisa historis antropologis, psikologis, serta kontemporer. 

Namun ada cerita di balik angka 150. Di dalam angka ini ada beberapa lapis lingkaran sosial yang dirunutkan berdasarkan keakraban. Lapis pertama merupakan 5 kawan paling akrab, lapis kedua adalah 15 teman baik, lapis ketiga adalah 50 teman biasa, dan lapis keempat adalah 150 interaksi yang memiliki dampak berarti. Di luar angka 150 ini, ada 500 kenalan dan 1500 orang yang bisa dikenali. Setiap orang bisa masuk dan keluar dalam radius lingkaran ini. Bagi ekstrovert, Ia akan memiliki jaringan yang lebih luas sedang introvert fokus pada kelompok kecil yang lebih akrab. Sebanyak 40% waktu sosial seseorang dominan dihabiskan bersama 5 orang terdekat. Meski begitu, menurut Dunbar, kedekatan emosional terhadap seseorang menurun hingga 15% per tahun ketika tidak dapat bertemu atau tatap langsung. Alhasil, orang yang mungkin awalnya dalam lingkaran teman akrab, bisa jadi tersingkir hingga keluar angka 150. Fenomena ini tercermin pada tingkatan hidup seseorang. Ketika sedang mengenyam pendidikan tinggi, jumlah teman yang sering diajak berinteraksi tidak sebanyak teman di pendidikan menengah. Begitu pula pada dunia kerja ketiga kolega sebatas teman profesional saja. Oleh karena itu, pekerja formal pada lingkungan kerja yang besar lebih merasakan kesepian daripada pekerja pada sektor informal.

Meski cukup akurat menggambarkan kondisi saat ini, teori Dunbar mendapatkannya banyak sekali kritik dari para ahli.

Media Sosial Tidak Dapat Menggantikan Interaksi Langsung

Pandemi Covid-19 dan kebijakan yang memerlukan masyarakat agar mengisolasi diri setidaknya membuat banyak orang mengalami kesepian. Rasa kesepian ini jauh lebih menyiksa bagi mereka yang berada di perantauan dan kawasan urban. Meskipun media sosial hadir sebagai solusi interaksi jarak jauh, media sosial tidak dapat sepenuhnya menggantikan interaksi langsung.

Pada era sekarang, kesepian jauh lebih ditakuti ketimbang kematian.

YouGov, firma internasional riset pasar dan analisis data merilis hasil riset yang menyebutkan bahwa milenial adalah generasi yang paling merasa kesepian. Hasil riset menyebutkan bahwa 30 persen generasi milenial selalu merasa kesepian, 30 persen tidak memiliki sahabat, serta 27 persen tidak memiliki teman untuk berbagi keluh-kesah. Riset lain dari University of Pennsylvania pada 2018 menemukan hubungan antara tingkat kebahagiaan yang rendah dengan waktu yang dihabiskan di media sosial. Riset ini dilakukan pada responden dengan rentang usia antara 23 hingga 38 tahun.

Ilustasi Teori Dunbar oleh Emmanuel Lafont

Media sosial adalah platform digital. Ada perbedaan metode dan cara bersosialisasi antara media sosial dan interaksi langsung. Meskipun saat ini sudah ada banyak sekali media sosial dengan kemudahan untuk mencari kenalan dan ragam cara berinteraksi yang ditawarkan (termasuk panggilan video), media sosial tidak mampu menghilangkan rasa kesepian. Teman nyata, interaksi langsung, serta ekspresi alami adalah pelipur rasa kesepian. Belum lagi media sosial mengandung banyak sekali distraksi yang tidak lagi murni sebagai medium interaksi.

***

Memelihara Kesehatan Mental Karena Kesepian Di Kala Pandemi? 

Pertama, akui. Akui bahwa saat ini sedang berada dalam fase dimana perlu adaptasi menghadapi pandemi, namun dirundung rasa sepi yang tak kunjung berhenti. Mengakui dan jujur terhadap kondisi diri sendiri perlu karena akan memengaruhi pola pikir yang berimplikasi pada kesehatan. Meski begitu, perlu diketahui bahwa tidak hanya diri sendiri yang kesepian, jutaan orang merasakan kondisi yang sama saat ini.

Kedua, rehat. Istirahat sejenak bisa jadi cara untuk memelihara kesehatan mental di kala pandemi. Rehat ini termasuk mengistirahatkan diri dari informasi yang bisa mengganggu ketenangan diri, meskipun informasi tersebut cukup penting, seperti grafik perkembangan kasus positif Covid-19 yang diketahui. Selain rehat, tetap upayakan menjaga kebugaran tubuh melalui olahraga rutin. Olahraga yang dilakukan tidak perlu berat, cukup luangkan waktu setengah jam saja untuk menggerakkan tubuh supaya tetap bergairah di tengah wabah.

Ketiga, afirmasi dan meditasi. Kedua cara ini bisa jadi cara merawat kesehatan mental. Memberikan pujian pada diri sendiri, serta membersihkan pikiran dari kecemasan dan kekhawatiran sesekali perlu supaya stres tidak melulu menggelayuti diri.

Keempat, sedang merasa sendu, tetaplah terhubung dengan teman yang dipercaya. Ceritakan keluh-kesah yang dihadapi saat ini, karena untuk mengobati rasa kesepian, diperlukan peran orang lain karena pada dasarnya manusia sebagai makhluk sosial sama-sama membutuhkan. Apabila media sosial tidak dapat mewakili, bisa temui langsung kerabat namun dengan tetap menjalankan protokol kesehatan. Ini menjadi penting karena stres dikala pandemi dapat memicu depresi yang daya rusaknya bisa setara merokok 15 batang per hari—riskan untuk kesehatan di masa depan. Apabila masih merasa depresi dan kesepian serta rekan dan sahabat dirasa tidak membantu, segera hubungi layanan konsultasi psikologi terdekat.
Cuma seorang pejalan yang gemar memaknai hubungan sosial.

Posting Komentar

Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.