Hal pertama yang saya lakukan setelah bangun tidur adalah duduk-duduk di teras rumah. Bangunan besar di pinggiran komplek perumahan ini memiliki beranda yang menghadap ke selatan, berhadapan langsung dengan hamparan sawah dan perkebunan. Jauh di ujung pandangan, Gunung Slamet masih tampak gagah, dan tak terasa beberapa jam yang lalu kami berada di salah satu sisi kakinya.
Saya merenung, tak terasa hampir separuh perjalanan terlewati. Efek dari perjalanan tiga puluh enam jam pertama baru terasa. Otot-otot betis dan lutut mengencang sehingga cenderung kaku untuk digerakkan. Sangat sulit bagi saya untuk bisa berselonjor lalu menekuk kaki, vice versa.
Aduduh...
"Iki, olesne sing akeh ning sikilmu. Tapi mengko wae bar adus yen arep budhal (Ini, oleskan yang banyak di kakimu. Tapi nanti saja sehabis mandi sebelum berangkat)," Pepe menyodorkan salep otot pada saya. Kami membawa beberapa selama perjalanan. Memang otot akan 'kaget' apalagi ini kali pertama saya melakukan perjalanan jarak jauh dengan bersepeda, dan dalam seminggu belakangan saya tidak bersepeda dalam intensitas berat—hanya dalam kota saja. Sebenarnya rasa otot tertarik ini sudah saya wanti-wanti sejak tadi malam ketika berhasil mencapai SPBU Ajibarang. Rasanya kedua kaki benar-benar kaku karena memancal pedal yang berat oleh beban.
Oh ya, sejak menyeruput dawet ireng di Sokaraja, saya baru paham kalau perjalanan ini mungkin hanya dilakukan dua-tiga orang. Mungkin awalnya hanya saya dan Jarpo saja yang berangkat. Namun karena abang saya di Jogja tahu kalau ini adalah pengalaman pertama saya bersepeda jarak jauh, lalu baik Jarpo maupun saya sama-sama tidak paham permasalahan teknis sepeda secara mendalam, bagaimana kultur masyarakat yang biasa hidup keras di jalanan, maka Ia 'mengutus' Bang Pepe dan Riko dalam perjalanan. Riko sendiri pun sebenarnya sedang tidak bekerja sehingga tentu bukan masalah baginya untuk ikut dalam Tour De Java ini, bagaimana dengan Bang Pepe? Ia mengambil cuti panjang mungkin hingga empat minggu karena seusai perjalanan ini, tentu kami akan mengisolasi diri selama dua minggu.
"Tenang Jo, kangmasmu wis kondo nek kowe tetep kudu tekan Karawang mbuh kepiye carane (Tenang Jo, kakakmu sudah bilang kamu harus tetap sampai Karawang entah bagaimana caranya)," ujar Pepe meyakinkan. Saya sendiri sih sudah santai karena di Pantura tentu banyak jalan menuju Karawang. Dari bus, angkutan travel, sampai numpang truk, banyak opsi tiba di Karawang sebelum shuttle pesanan saya berangkat besok pagi. Atau kalau perlu, saya gowes lebih dulu dari kawan-kawan rombongan karena si Kromo bisa dipacu hingga 30 km/jam. Namun opsi terakhir ini tentu ditentang.
Jalan Pantura di siang hari ternyata tak seburuk imajinasi saya. Maklum, selama ini saya hanya melewati Tol Trans Jawa untuk perjalanan Jawa Tengah menuju Jakarta dan sebaliknya menggunakan bus, jadi belum pernah melihat kondisi asli jalanan bersejarah ini. Di tengah siang bolong musim kemarau, terik matahari sangat menusuk kulit. Meski berkaos lengan panjang, saya tetap bercelana pendek. Rasanya tabir surya dengan SPF 30 pun tidak cukup mengurangi rasa kulit yang terbakar. Sebagai manusia dengan ras melanosoid alias turunan negroid, semoga saja terik matahari tidak membakar kulit hingga membuatnya mengelupas.
Jarak antara Brebes dengan Cirebon hanya 61 kilometer saja. Medannya sangat datar dengan beberapa kali tanjakan kecil begitu melewati jembatan. Jalan Pantura di kedua daerah ini dominan sudah dibeton sehingga minim jalan berlubang atau bergelombang. Di kiri-kanan sawah menghampar, beberapa diantaranya ada kolam tambak ikan. Separuh bagian ruas Pantura Brebes sempat sejajar dengan rel kereta, namun jarang ada kereta melintas karena pandemi. Jalanan benar-benar gersang berdebu bagai di tengah sabana. Pepohonan relatif jarang, apalagi yang melintangi jalan.
Rasanya benar-benar letih dan haus melewati Pantura di kedua kota ini. Benar kata guru saya: di Cirebon serasa ada tiga matahari. Di kejauhan, pemandangan tampak bergelombang bak fatamorgana. Panasnya aspal membiaskan cahaya rupanya. Gerbang propinsi Jawa Barat dan gapura Kabupaten Cirebon tidak lagi menarik bagi kami.
Memasuki Losari wilayah Cirebon, kami ambil rehat sejenak. Dengan segera masing-masing menenggak teh botolan. Rasanya sudah berbotol-botol besar air mineral habis ditenggak ketiga rekan saya. Sembari istirahat, tentu apalagi kalau tidak melihat pembaruan di media sosial.
Teman-teman di Jogja memberitahu bahwa wawancara yang dilakukan Jarpo dengan salah satu media lokal kemarin telah lolos redaksi. Tak tanggung-tanggung, berita soal aksi kami bersepeda dipampang di sampul utama harian tersebut. Foto-foto yang digunakan adalah jepretan asli saya yang tentu, tidak akan ada nama atau inisial saya sebagai pemotret di situ.
'Tuku sing akeh sisan (Beli yang banyak sekalian),' seorang anggota grup menyahuti pesan, rekan kami Arfian membeli 5 harian tersebut. Lumayan untuk portfolio.
Perjalanan dilanjutkan. Hembusan angin datang dari arah utara, angin laut namanya. Angin ini biasa dimanfaatkan nelayan untuk kembali ke daratan. Bagi saya, semilir angin ini lumayan untuk pendinginan. Bagi Jarpo, Pepe, dan Riko, angin berarti hambatan. Sepeda tinggi dengan rangka yang rumit tentu bergesekan dengan kekuatan angin. Semakin kencang angin bertiup, maka semakin berat pedal dikayuh, semakin sulit menjaga keseimbangan. Berulang kali saya yang ada di depan berjarak sangat jauh dengan mereka bertiga. Tapi lumayan juga celah jarak waktu bisa saya gunakan untuk istirahat.
Memasuki Kota Cirebon, keramaian populasi baru terlihat. Lagi-lagi sepeda tinggi menarik perhatian masyarakat. Meski berbeda bahasa, asumsi saya warga sekitar memiliki pertanyaan yang serupa.
Tiba di Cirebon, kami disambut oleh bapak-bapak umuran 50 tahun yang masih gesit bersepeda. Beliau dengan bangga memperkenalkan sepeda tingginya. Ya, beliau dari Pit Dhuwur Cirebon. Lantas Ia mengajak kami menuju Balaikota melalui kawasan kota lama.
Lagi-lagi sepeda jangkung menarik atensi publik. Beberapa mobil pribadi memelankan laju mereka, membuka jendela lalu menyorot kami berempat urut dari belakang hingga depan. Tak jarang mereka memberi semangat dengan tangan mengepal.
Rehat di kota lama, kami memarkir sepeda. Tak butuh waktu lama hingga muda-mudi mengajak kami berswafoto dengan sepeda sebagai latarnya.
Terakhir kali saya menjelajahi Cirebon adalah tahun 2016. Waktu itu guru saya Bu Vera ingin mengeksplorasi sejarah Cirebon, khususnya keraton-keraton yang ada di sini. Iya, kami mendapat 'undangan khusus' untuk bisa memasuki lingkungan keraton. Tak hanya menyambangi situs-situs kultural, Bu Vera juga mengajak saya mencicipi citarasa kuliner Cirebon dan menyelami sejarah dibalik kuliner tersebut.
"Biasanya malam Minggu ramai orang bersepeda putar-putar Cirebon, mulai dari Balaikota sini," ujar si Bapak. Dengan bangga Ia menyebut banyak komunitas sepeda di Cirebon, sama halnya Jogja. Namun pada petang ini saja jarang kendaraan roda dua itu melintas. Atau mungkin belum cukup gelap.
Di depan Balaikota, kami disambut rekan-rekan dari komunitas Pit Dhuwur Cirebon dan buruh yang tergabung dalam federasi Serbuk Indonesia. Kami semua mengobrol seru dengan ditemani segelas kopi racikan ibu-ibu starling (Starbuck keliling) dan kerupuk telur asin yang dibawakan teman-teman Gebrak. Saking hangatnya pertemuan itu, saya sampai lupa kalau malam ini harus tiba di Karawang yang masih berjarak 174 kilometer. Waduh!
"Tenang wae, paling mengko kowe ditumpakke bus (Tenang saja, paling nanti kamu naik bus saja)," jelas Jarpo.
"Tiga ratus ribu," ujar kondektur tegas. Gila saja, apabila sepeda saya dihitung sebagai penumpang, maka seorang membayar Rp. 150.000,-. Dengan tarif segitu saya sudah bisa naik bus dari Jakarta ke Jogja. Yasudah, saya berlalu. Tiba-tiba kondektur memanggil, "Dua ratus oke." Segera saya bayar tiket tersebut. Kru bus pun segera memasukkan si Kromo ke bagasi samping kiri setelah semua barang saya bawa ke kabin.
"Turun di tol KM 60," ujar saya menyerahkan dua lembar rupiah merah.
Di dalam kabin, saya segera mengisi daya ponsel. Dari Palimanan, bus Patas ini berjalan begitu lambat. Bahkan saya yakin kalau kecepatannya konstan begini, lebih baik saya bersepeda saja sampai Karawang. Namun raga ini cukup rapuh dan sudah lelah, waktunya istirahat, lelap sejenak.
Saya sedikit kaget terbelalak ketika semua penumpang sudah turun dari bus. Rupanya PO. Bhinneka ini hanya berjalan sampai Jatibarang saja. Bus pelat E ini akan kembali ke pool di Cirebon. "Oper ke bus depan kang," ujar kondektur tak bertanggung-jawab itu. Si Kromo sudah ada di deretan belakang kursi bus ekonomi reyot tersebut.
Okelah, asal saya tiba di Karawang dengan selamat. Saya duduk di kursi belakang supaya bisa mengawasi si Kromo agar baik-baik saja untuk dibawa gowes ke Jakarta. Bus ekonomi ini pun berangkat.
Kondektur bus ini berperawakan garang. Wajahnya sama sekali tidak ramah, tercium bau menyengat dari mulutnya. Ia mendatangi saya dengan menuliskan harga tiket 50x, "Seratus kang." Hah? Serius? Tadi saya sudah diminta bayar Rp. 200.000,- hanya sampai Jatibarang, dan sekarang diminta Rp. 100.000,- karena sepeda kembali dihitung sebagai penumpang. "IYA CEPETAN!" saya panik dan pucat, membuka dompet dengan perlahan. Benar, di dompet hanya tersisa Rp. 4.000,- saja. Sang kondektur lantas mengamuk. Dipukulnya jok di depan saya sambil memaki dalam bahasa Sunda. Sialan. Saya pun kesal.
Beberapa penumpang di kursi tengah dan depan pun kaget melihat ke arah saya. Saya hanya diam saja dengan ekspresi pucat. Lalu seorang Bapak yang duduk di kursi seberang membisiki saya, "Bayar berapa kang?" Dengan kesal saya menjawab, "Tadi sudah bayar 200 kang. Tapi kata abang kernetnya dia cuma terima 60. Lah kan bukan salah saya kan." Si Bapak pun kaget. Dengan nominal sebesar itu pun bisa sampai Jakarta. "Mahal banget Kang. Enam puluh aja naik ekonomi bisa sampai Jakarta. Eksekutif segitu juga Jakarta - Jogja." Iya benar, tapi Jakarta bukan tujuan saya.
Sepanjang perjalanan di Indramayu, sang kondektur berulang kali menatap tajam ke arah saya. Waspada, ponsel saya masukkan tas. Benar saja dia datang.
'Berapa ni sepeda?'
"Punya komunitas bang."
'Jangan bohong ya. Sini barter tempat duduk sama sepeda,' ancam sang kondektur. Saya diamkan saja gertakan itu. Kalau misal kejadian, saya bisa melawan. Dikacangin, Ia berlalu. Semoga saja dia baca spanduk kecil di depan keranjang itu: Bersepeda Jogja - Jakarta, #TolakOmnibusLaw.
Perjalanan bus malam itu jadi terasa panjang meski jaraknya serupa Magelang - Semarang. Saya terjaga bilamana sang kondektur berlaku macam-macam terutama dengan bawaan saya. Terlihat dari stiker yang terpampang, bus ini mungkin dari Indramayu. Dari dulu saya memang memasang stigma kalau Indramayu daerah yang kurang aman, dan stigma ini rupanya sama di banyak orang. Faktornya? Mungkin karena tol Trans Jawa terhubung hingga Palimanan, tidak lagi banyak orang melewati Pantura Indramayu sehingga kesejahteraan masyarakatnya menurun. Ya, tentu ada faktornya. Tidak baik 'merawat' stigma, tapi bagaimana, sekarang saya merasakannya sendiri.
Jauh dari kawan dan kerabat, dan abang saya di Jogja membuat saya khawatir dan takut. Ingin minta tolong, namun saya takut mengeluarkan ponsel. Sepertinya saya harus berkabar lewat status.
Baru selesai mengirim pesan ke grup kecil, tiba-tiba ponsel saya dirampas. Saya kaget. "Eits, mau ngapain mas?!" ucap kondektur itu lantang dan sinis. Sekarang saya makin buyar harus berbuat apa.
Yasudah, saya hanya diam saja, menatap pemandangan gelap dari pintu belakang dengan kosong.
Seorang penumpang naik dari Pamanukan. Ia menggendong tas jins besar. Kalau dilihat dari bentuknya, mungkin Ia menjual alas kaki. Dengan santai Ia duduk di kursi belakang membersamai saya yang panik, pucat, dan bingung. Perjalanan terasa makin melelahkan begitu dihadapkan masalah ini.
"Minum kang?" tawarnya sebotol air mineral. Saya menolaknya karena orang asing. Dengan santai Ia tenggak habis isi botol itu, mungkin 'yowis' pikirnya. Si kondektur datang, akang penjual sandal membayarnya dengan rupiah ungu saja.
Kondisi Jalan Pantura Indramayu dan Subang mungkin sangat buruk. Beberapa kali bus yang melaju dengan kecepatan tinggi ini sukses membanting sepeda saya di belakang. Saya yakin MK Kustom sudah merakitnya dengan solid, namun khawatir kalau suku cadangnya jadi bermasalah karena goncangan besar ini. Disaat bersamaan, sama melihat ke arah ponsel berlayar besar yang ada di saku kondektur. Ponsel itu terus-menerus berbunyi, berdering, dan bergetar. Mungkin mulai risih dan mengganggu.
Akang penjual sandal rupanya mengerti apa yang saya inginkan. Ketika bus semakin kencang, Ia berdiri mendekati sang kondektur. Di kursi depan, sang kondektur sempat berdebat entah dalam bahasa Sunda. Entah negosiasi apa yang dilakukan, ponsel berpindah ke tangan si akang bersamaan dengan wajah kecut kondektur pada saya. Dan ponsel kembali ke tangan. Belum sempat ngobrol, si akang sudah dulu turun di Patokbeusi. Kenal dekat? Bisa jadi.
Ponsel di tangan, dan benar banyak pertanyaan dan telepon dari rekan-rekan.
Bus sudah dekat dengan Cikampek. Setahu saya di Jawa Barat untuk menghentikan bus, biasanya penumpang akan menyentil atap atau membunyikan besi dengan koin. Saya ikuti cara yang berlaku di Bogor ini. Berhenti tepat di Simpang Jomin.
Sang kondektur datang, kali ini beliau relatif kalem. Namun usai memegang si Kromo, dilemparkannya sepeda dari dek kabin hingga si Kromo terpental dan terpelanting di atas trotoar. Saya lekas turun mengambil si Kromo, bus sialan itu langsung melaju kencang.
Segera saya kabari rekan-rekan Jarpo di Kosambi untuk menjemput sembari mengecek si Kromo. Beruntung sepeda yang belum berumur seminggu ini baik-baik saja. Hanya rantai sempat keluar jalur, dan keranjang depan yang bengkok. "Tangguh kamu," saya terharu.
Pesan masuk dari abang saya. Ia berpesan supaya saya lebih mawas diri di perjalanan, apalagi saat ini sedang berada di tanah orang dan berpisah dari rombongan. Diantara banyak orang yang saya kenal, Ialah yang paling mengkawatirkan saya ketimbang orang tua sendiri.
'Sing tenang. Leren. Fokus sesuk dolan seneng-seneng wae (Yang tenang. Istirahatlah. Besok fokus main senang-senang saja),' ujarnya dalam pesan singkat.
Dua orang berperawakan gemuk dan kurus datang. Dengan jaket federasi, keduanya mencoba menenangkan saya yang masih shock dengan kejadian signifikan barusan, dan menimbang keputusan saya tidak lagi membayar kondektur kedua itu keputusan yang benar atau tidak. Kami pun lekas menuju sekretariat supaya saya beristirahat.
Saya merenung, tak terasa hampir separuh perjalanan terlewati. Efek dari perjalanan tiga puluh enam jam pertama baru terasa. Otot-otot betis dan lutut mengencang sehingga cenderung kaku untuk digerakkan. Sangat sulit bagi saya untuk bisa berselonjor lalu menekuk kaki, vice versa.
Menyambangi Alun-alun Brebes sambil mengecek bawaan sejenak |
Aduduh...
"Iki, olesne sing akeh ning sikilmu. Tapi mengko wae bar adus yen arep budhal (Ini, oleskan yang banyak di kakimu. Tapi nanti saja sehabis mandi sebelum berangkat)," Pepe menyodorkan salep otot pada saya. Kami membawa beberapa selama perjalanan. Memang otot akan 'kaget' apalagi ini kali pertama saya melakukan perjalanan jarak jauh dengan bersepeda, dan dalam seminggu belakangan saya tidak bersepeda dalam intensitas berat—hanya dalam kota saja. Sebenarnya rasa otot tertarik ini sudah saya wanti-wanti sejak tadi malam ketika berhasil mencapai SPBU Ajibarang. Rasanya kedua kaki benar-benar kaku karena memancal pedal yang berat oleh beban.
Pemandangan Brebes arah selatan |
Berangkat dari sektretariat Gebrak |
Oh ya, sejak menyeruput dawet ireng di Sokaraja, saya baru paham kalau perjalanan ini mungkin hanya dilakukan dua-tiga orang. Mungkin awalnya hanya saya dan Jarpo saja yang berangkat. Namun karena abang saya di Jogja tahu kalau ini adalah pengalaman pertama saya bersepeda jarak jauh, lalu baik Jarpo maupun saya sama-sama tidak paham permasalahan teknis sepeda secara mendalam, bagaimana kultur masyarakat yang biasa hidup keras di jalanan, maka Ia 'mengutus' Bang Pepe dan Riko dalam perjalanan. Riko sendiri pun sebenarnya sedang tidak bekerja sehingga tentu bukan masalah baginya untuk ikut dalam Tour De Java ini, bagaimana dengan Bang Pepe? Ia mengambil cuti panjang mungkin hingga empat minggu karena seusai perjalanan ini, tentu kami akan mengisolasi diri selama dua minggu.
***
Rambu besar ini menjadi patokan kami menghitung jarak ketimbang menggunakan Google Maps |
Brebes - Cirebon
Usai sarapan dan menerima oleh-oleh dari tuan rumah, kami berangkat. Etape kedua ini harus kami selesaikan setidaknya sampai tiba di Karawang. Namun melihat keberangkatan kami dari Brebes pukul 10:00 WIB—tertahan satu jam karena menunggu dibelikan cemilan, sepertinya malam hari tidak akan sampai Kosambi. Apalagi saya juga memiliki agenda penting dan wajib untuk bisa mendatangi pernikahan sahabat esok hari."Tenang Jo, kangmasmu wis kondo nek kowe tetep kudu tekan Karawang mbuh kepiye carane (Tenang Jo, kakakmu sudah bilang kamu harus tetap sampai Karawang entah bagaimana caranya)," ujar Pepe meyakinkan. Saya sendiri sih sudah santai karena di Pantura tentu banyak jalan menuju Karawang. Dari bus, angkutan travel, sampai numpang truk, banyak opsi tiba di Karawang sebelum shuttle pesanan saya berangkat besok pagi. Atau kalau perlu, saya gowes lebih dulu dari kawan-kawan rombongan karena si Kromo bisa dipacu hingga 30 km/jam. Namun opsi terakhir ini tentu ditentang.
Jalan Pantura ruas Brebes - Cirebon sudah relatif bagus dengan pembetonan |
Gersang, panas, dan sepi, Pantura di Losari, Cirebon |
***
Jarak antara Brebes dengan Cirebon hanya 61 kilometer saja. Medannya sangat datar dengan beberapa kali tanjakan kecil begitu melewati jembatan. Jalan Pantura di kedua daerah ini dominan sudah dibeton sehingga minim jalan berlubang atau bergelombang. Di kiri-kanan sawah menghampar, beberapa diantaranya ada kolam tambak ikan. Separuh bagian ruas Pantura Brebes sempat sejajar dengan rel kereta, namun jarang ada kereta melintas karena pandemi. Jalanan benar-benar gersang berdebu bagai di tengah sabana. Pepohonan relatif jarang, apalagi yang melintangi jalan.
PLTU Cirebon (kanan jauh) menjadi patokan saya ketika akan memasuki Kota Cirebon |
Tumpukan sampah di kiri-kanan Jalan Pantura mulai terlihat banyak di Cirebon |
Tumpukan sampah liar seperti ini adalah pemandangan umum di sepanjang Jawa Barat |
Rasanya benar-benar letih dan haus melewati Pantura di kedua kota ini. Benar kata guru saya: di Cirebon serasa ada tiga matahari. Di kejauhan, pemandangan tampak bergelombang bak fatamorgana. Panasnya aspal membiaskan cahaya rupanya. Gerbang propinsi Jawa Barat dan gapura Kabupaten Cirebon tidak lagi menarik bagi kami.
***
Memasuki Losari wilayah Cirebon, kami ambil rehat sejenak. Dengan segera masing-masing menenggak teh botolan. Rasanya sudah berbotol-botol besar air mineral habis ditenggak ketiga rekan saya. Sembari istirahat, tentu apalagi kalau tidak melihat pembaruan di media sosial.
Teman-teman di Jogja memberitahu bahwa wawancara yang dilakukan Jarpo dengan salah satu media lokal kemarin telah lolos redaksi. Tak tanggung-tanggung, berita soal aksi kami bersepeda dipampang di sampul utama harian tersebut. Foto-foto yang digunakan adalah jepretan asli saya yang tentu, tidak akan ada nama atau inisial saya sebagai pemotret di situ.
Masuk di halaman muka media lokal Jogja |
'Tuku sing akeh sisan (Beli yang banyak sekalian),' seorang anggota grup menyahuti pesan, rekan kami Arfian membeli 5 harian tersebut. Lumayan untuk portfolio.
***
Perjalanan dilanjutkan. Hembusan angin datang dari arah utara, angin laut namanya. Angin ini biasa dimanfaatkan nelayan untuk kembali ke daratan. Bagi saya, semilir angin ini lumayan untuk pendinginan. Bagi Jarpo, Pepe, dan Riko, angin berarti hambatan. Sepeda tinggi dengan rangka yang rumit tentu bergesekan dengan kekuatan angin. Semakin kencang angin bertiup, maka semakin berat pedal dikayuh, semakin sulit menjaga keseimbangan. Berulang kali saya yang ada di depan berjarak sangat jauh dengan mereka bertiga. Tapi lumayan juga celah jarak waktu bisa saya gunakan untuk istirahat.
PLTU Cirebon (kanan jauh) menjadi patokan saya ketika akan memasuki Kota Cirebon |
Memasuki Kota Cirebon |
Memasuki Kota Cirebon, keramaian populasi baru terlihat. Lagi-lagi sepeda tinggi menarik perhatian masyarakat. Meski berbeda bahasa, asumsi saya warga sekitar memiliki pertanyaan yang serupa.
Tiba di Cirebon, kami disambut oleh bapak-bapak umuran 50 tahun yang masih gesit bersepeda. Beliau dengan bangga memperkenalkan sepeda tingginya. Ya, beliau dari Pit Dhuwur Cirebon. Lantas Ia mengajak kami menuju Balaikota melalui kawasan kota lama.
Menjadi perhatian kawula muda setempat |
Tidak sedikit orang yang meminta foto bersama kami |
Lagi-lagi sepeda jangkung menarik atensi publik. Beberapa mobil pribadi memelankan laju mereka, membuka jendela lalu menyorot kami berempat urut dari belakang hingga depan. Tak jarang mereka memberi semangat dengan tangan mengepal.
Rehat di kota lama, kami memarkir sepeda. Tak butuh waktu lama hingga muda-mudi mengajak kami berswafoto dengan sepeda sebagai latarnya.
***
Terakhir kali saya menjelajahi Cirebon adalah tahun 2016. Waktu itu guru saya Bu Vera ingin mengeksplorasi sejarah Cirebon, khususnya keraton-keraton yang ada di sini. Iya, kami mendapat 'undangan khusus' untuk bisa memasuki lingkungan keraton. Tak hanya menyambangi situs-situs kultural, Bu Vera juga mengajak saya mencicipi citarasa kuliner Cirebon dan menyelami sejarah dibalik kuliner tersebut.
Starling, pemandangan umum di Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Banten |
Bersama Pit Dhuwur Cirebon |
Rombongan menuju Palimanan, dari sini saya berpisah dari rombongan |
"Biasanya malam Minggu ramai orang bersepeda putar-putar Cirebon, mulai dari Balaikota sini," ujar si Bapak. Dengan bangga Ia menyebut banyak komunitas sepeda di Cirebon, sama halnya Jogja. Namun pada petang ini saja jarang kendaraan roda dua itu melintas. Atau mungkin belum cukup gelap.
Di depan Balaikota, kami disambut rekan-rekan dari komunitas Pit Dhuwur Cirebon dan buruh yang tergabung dalam federasi Serbuk Indonesia. Kami semua mengobrol seru dengan ditemani segelas kopi racikan ibu-ibu starling (Starbuck keliling) dan kerupuk telur asin yang dibawakan teman-teman Gebrak. Saking hangatnya pertemuan itu, saya sampai lupa kalau malam ini harus tiba di Karawang yang masih berjarak 174 kilometer. Waduh!
"Tenang wae, paling mengko kowe ditumpakke bus (Tenang saja, paling nanti kamu naik bus saja)," jelas Jarpo.
***
Ditawan kondektur sialan...
Selepas maghrib, kami semua konvoi menuju basis Pit Dhuwur Cirebon di Palimanan. Di kota kecamatan ini pula biasanya bus antar kota berhenti. Kawan-kawan Cirebon pun mencarikan bus yang siap menuju Karawang. Satu dapat. Ketika bus datang..."Tiga ratus ribu," ujar kondektur tegas. Gila saja, apabila sepeda saya dihitung sebagai penumpang, maka seorang membayar Rp. 150.000,-. Dengan tarif segitu saya sudah bisa naik bus dari Jakarta ke Jogja. Yasudah, saya berlalu. Tiba-tiba kondektur memanggil, "Dua ratus oke." Segera saya bayar tiket tersebut. Kru bus pun segera memasukkan si Kromo ke bagasi samping kiri setelah semua barang saya bawa ke kabin.
"Turun di tol KM 60," ujar saya menyerahkan dua lembar rupiah merah.
Di dalam kabin, saya segera mengisi daya ponsel. Dari Palimanan, bus Patas ini berjalan begitu lambat. Bahkan saya yakin kalau kecepatannya konstan begini, lebih baik saya bersepeda saja sampai Karawang. Namun raga ini cukup rapuh dan sudah lelah, waktunya istirahat, lelap sejenak.
***
Saya sedikit kaget terbelalak ketika semua penumpang sudah turun dari bus. Rupanya PO. Bhinneka ini hanya berjalan sampai Jatibarang saja. Bus pelat E ini akan kembali ke pool di Cirebon. "Oper ke bus depan kang," ujar kondektur tak bertanggung-jawab itu. Si Kromo sudah ada di deretan belakang kursi bus ekonomi reyot tersebut.
Okelah, asal saya tiba di Karawang dengan selamat. Saya duduk di kursi belakang supaya bisa mengawasi si Kromo agar baik-baik saja untuk dibawa gowes ke Jakarta. Bus ekonomi ini pun berangkat.
Kondektur bus ini berperawakan garang. Wajahnya sama sekali tidak ramah, tercium bau menyengat dari mulutnya. Ia mendatangi saya dengan menuliskan harga tiket 50x, "Seratus kang." Hah? Serius? Tadi saya sudah diminta bayar Rp. 200.000,- hanya sampai Jatibarang, dan sekarang diminta Rp. 100.000,- karena sepeda kembali dihitung sebagai penumpang. "IYA CEPETAN!" saya panik dan pucat, membuka dompet dengan perlahan. Benar, di dompet hanya tersisa Rp. 4.000,- saja. Sang kondektur lantas mengamuk. Dipukulnya jok di depan saya sambil memaki dalam bahasa Sunda. Sialan. Saya pun kesal.
"Tadi ya mas, saya cuma dapat bayaran Rp. 60.000,- saja dari bus belakang. Harusnya masnya sadar diri dong bayar lagi Rp. 100.000,- ke saya! Capek masukin sepeda kayak gitu ke dalam!"Dalam hati saya cuma bisa bergumam, 'Ya itu urusanmu.' Justru yang rugi saya, Rp. 140.000,- raib hanya untuk duduk sejenak di kabin dari Palimanan sampai Jatibarang. Untung masih sempat cas baterai ponsel walau tidak penuh juga. Saya pun mendiamkan si kondektur.
Si Kromo diselipkan di bagian belakang bus begitu saja |
Beberapa penumpang di kursi tengah dan depan pun kaget melihat ke arah saya. Saya hanya diam saja dengan ekspresi pucat. Lalu seorang Bapak yang duduk di kursi seberang membisiki saya, "Bayar berapa kang?" Dengan kesal saya menjawab, "Tadi sudah bayar 200 kang. Tapi kata abang kernetnya dia cuma terima 60. Lah kan bukan salah saya kan." Si Bapak pun kaget. Dengan nominal sebesar itu pun bisa sampai Jakarta. "Mahal banget Kang. Enam puluh aja naik ekonomi bisa sampai Jakarta. Eksekutif segitu juga Jakarta - Jogja." Iya benar, tapi Jakarta bukan tujuan saya.
***
Sepanjang perjalanan di Indramayu, sang kondektur berulang kali menatap tajam ke arah saya. Waspada, ponsel saya masukkan tas. Benar saja dia datang.
'Berapa ni sepeda?'
"Punya komunitas bang."
'Jangan bohong ya. Sini barter tempat duduk sama sepeda,' ancam sang kondektur. Saya diamkan saja gertakan itu. Kalau misal kejadian, saya bisa melawan. Dikacangin, Ia berlalu. Semoga saja dia baca spanduk kecil di depan keranjang itu: Bersepeda Jogja - Jakarta, #TolakOmnibusLaw.
Perjalanan bus malam itu jadi terasa panjang meski jaraknya serupa Magelang - Semarang. Saya terjaga bilamana sang kondektur berlaku macam-macam terutama dengan bawaan saya. Terlihat dari stiker yang terpampang, bus ini mungkin dari Indramayu. Dari dulu saya memang memasang stigma kalau Indramayu daerah yang kurang aman, dan stigma ini rupanya sama di banyak orang. Faktornya? Mungkin karena tol Trans Jawa terhubung hingga Palimanan, tidak lagi banyak orang melewati Pantura Indramayu sehingga kesejahteraan masyarakatnya menurun. Ya, tentu ada faktornya. Tidak baik 'merawat' stigma, tapi bagaimana, sekarang saya merasakannya sendiri.
Jauh dari kawan dan kerabat, dan abang saya di Jogja membuat saya khawatir dan takut. Ingin minta tolong, namun saya takut mengeluarkan ponsel. Sepertinya saya harus berkabar lewat status.
Oper bus tidak masalah apabila kelasnya sama dan tidak dimintai bayaran lagi |
Baru selesai mengirim pesan ke grup kecil, tiba-tiba ponsel saya dirampas. Saya kaget. "Eits, mau ngapain mas?!" ucap kondektur itu lantang dan sinis. Sekarang saya makin buyar harus berbuat apa.
Yasudah, saya hanya diam saja, menatap pemandangan gelap dari pintu belakang dengan kosong.
***
Seorang penumpang naik dari Pamanukan. Ia menggendong tas jins besar. Kalau dilihat dari bentuknya, mungkin Ia menjual alas kaki. Dengan santai Ia duduk di kursi belakang membersamai saya yang panik, pucat, dan bingung. Perjalanan terasa makin melelahkan begitu dihadapkan masalah ini.
"Minum kang?" tawarnya sebotol air mineral. Saya menolaknya karena orang asing. Dengan santai Ia tenggak habis isi botol itu, mungkin 'yowis' pikirnya. Si kondektur datang, akang penjual sandal membayarnya dengan rupiah ungu saja.
Kondisi Jalan Pantura Indramayu dan Subang mungkin sangat buruk. Beberapa kali bus yang melaju dengan kecepatan tinggi ini sukses membanting sepeda saya di belakang. Saya yakin MK Kustom sudah merakitnya dengan solid, namun khawatir kalau suku cadangnya jadi bermasalah karena goncangan besar ini. Disaat bersamaan, sama melihat ke arah ponsel berlayar besar yang ada di saku kondektur. Ponsel itu terus-menerus berbunyi, berdering, dan bergetar. Mungkin mulai risih dan mengganggu.
Perjalanan menuju Karawang terasa sangat lama meski harusnya 60 menit saja |
Akang penjual sandal rupanya mengerti apa yang saya inginkan. Ketika bus semakin kencang, Ia berdiri mendekati sang kondektur. Di kursi depan, sang kondektur sempat berdebat entah dalam bahasa Sunda. Entah negosiasi apa yang dilakukan, ponsel berpindah ke tangan si akang bersamaan dengan wajah kecut kondektur pada saya. Dan ponsel kembali ke tangan. Belum sempat ngobrol, si akang sudah dulu turun di Patokbeusi. Kenal dekat? Bisa jadi.
Ponsel di tangan, dan benar banyak pertanyaan dan telepon dari rekan-rekan.
***
Bus sudah dekat dengan Cikampek. Setahu saya di Jawa Barat untuk menghentikan bus, biasanya penumpang akan menyentil atap atau membunyikan besi dengan koin. Saya ikuti cara yang berlaku di Bogor ini. Berhenti tepat di Simpang Jomin.
Sang kondektur datang, kali ini beliau relatif kalem. Namun usai memegang si Kromo, dilemparkannya sepeda dari dek kabin hingga si Kromo terpental dan terpelanting di atas trotoar. Saya lekas turun mengambil si Kromo, bus sialan itu langsung melaju kencang.
Segera saya kabari rekan-rekan Jarpo di Kosambi untuk menjemput sembari mengecek si Kromo. Beruntung sepeda yang belum berumur seminggu ini baik-baik saja. Hanya rantai sempat keluar jalur, dan keranjang depan yang bengkok. "Tangguh kamu," saya terharu.
Pesan masuk dari abang saya. Ia berpesan supaya saya lebih mawas diri di perjalanan, apalagi saat ini sedang berada di tanah orang dan berpisah dari rombongan. Diantara banyak orang yang saya kenal, Ialah yang paling mengkawatirkan saya ketimbang orang tua sendiri.
'Sing tenang. Leren. Fokus sesuk dolan seneng-seneng wae (Yang tenang. Istirahatlah. Besok fokus main senang-senang saja),' ujarnya dalam pesan singkat.
***
Beruntung, tidak banyak kerusakan berarti dari si Kromo |
Dua orang berperawakan gemuk dan kurus datang. Dengan jaket federasi, keduanya mencoba menenangkan saya yang masih shock dengan kejadian signifikan barusan, dan menimbang keputusan saya tidak lagi membayar kondektur kedua itu keputusan yang benar atau tidak. Kami pun lekas menuju sekretariat supaya saya beristirahat.