"Piye, angel ra le nemu nggonku?" terang Surya diselingi tawa. Saya butuh setidaknya 10 menit untuk tahu lokasi rumahnya berada. Maklumlah koordinat tidak akurat yang Ia kirim menyasarkan saya pada komplek buntu di belakang rumah.
***
Agenda saya hari ini merupakan lanjutan dari eksplorasi saya minggu lalu. Tiap akhir pekan saya memang menjadikan salah satu hari untuk napak tilas sepur lawas. Dan kali ini waktunya Purworejo mendapat bagian. Sebagai tetangga kota asal saya, Purworejo merupakan satu dari empat daerah di Karesidenan Kedu yang tidak lagi memiliki jalur kereta api aktif. Berhubung Surya—kawan saya di kampus, pernah merespon Instagram stories saya sewaktu eksplorasi petak kereta Ambarawa - Blondo, kali ini saya libatkan Ia dalam penjelajahan. 😙
Jalur rel kereta api yang sudah lama terpendam sedimentasi tanah dan perkebunan |
Dari rumah Surya, kami mengalami napak tilas dengan mengikuti rel ke arah Stasiun Purworejo, stasiun kelas 2 di kota ini. Berjarak 200 meter saja, kami sudah menemukan bangkai rel yang memotong silang jalan perkampungan, menghubungkan kebun di sisi jalan dengan sisi lainnya.
Surya menunjukkan pada saya (dan sambil bercerita) jalan yang bersisian dengan rel kereta non aktif di Purworejo |
"Ketoke rel sepur ning kene isih relatif utuh yo?" Surya mengangguk, Ia memandu saya melewati jalanan kampung dalam sembari bercerita pengalamannya ketika dulu jalur ini masih aktif.
Surya berkisah, meski di daerahnya ada kereta, Ia relatif jarang menaikinya dulu. Kereta yang kerap melintas sewaktu Ia duduk di bangku SD hanya lokomotif jadul BB300 yang menarik dua atau satu gerbong di belakangnya. Kereta pengumpan istilahnya. Jadwal kereta pengumpan pun telah disesuaikan dengan jadwal kereta api jarak jauh (KAJJ) yang akan berangkat dan tiba di Stasiun Kutoarjo. Kereta pengumpan disesuaikan dengan jadwal kereta Kutojaya dan Sawunggalih. Mungkin saja untuk bisa menaiki kereta yang berhenti melayani pada 2010 ini harus memiliki tiket KAJJ sebagai terusan.
Wujud kereta feeder Purworejo dengan relasi Purworejo - Kutoarjo (Foto oleh Mahmoed Taxman, Flickr) |
"Dhisik aku kerep dolanan paku, diselehne ning rel men dadi keris," namanya juga bocah, jadi belum paham akan bahayanya meletakkan benda-benda di atas rel. 😅 Meski kereta yang melintas di Purworejo kota ini tentu bergerak lamban karena masih menggunakan bantalan lawas (sebagian kayu, ada pula baja), tetap saja paku-paku itu berpotensi jadi alat sabotase. Untungnya PT. KAI saat ini lebih profesional dengan mempekerjaan petugas yang berjalan kaki antar stasiun, mengecek kondisi trek lintasan kereta.
Rel kereta api di Kabupaten Purworejo relatif utuh karena belum lama jalur ini mati |
***
"Nek ameh mlebu ning peron stasiun, isone mung lewat mburi Jo," sebenarnya saya dulu pernah menyambangi Stasiun Purworejo pada 2018, ketika saya sibuk skripsi di Kulon Progo. Karena dulu sempat ngekos di Wates dan penasaran dengan jalur mati di Purworejo, saya sambangi stasiun ini. Namun dulu hanya masuk ke bangunan utama yang dialihfungsikan sebagai museum. Mirisnya sih sekarang museum telah ditutup karena pandemi Covid-19. Pun vandalisme berupa pemecahan jendela kaca pada pintu-pintu bangunan menjadi bukti kalau stasiun ini tak lagi diperhatikan.
Kami tiba di Stasiun Purworejo. Dengan kode PWR, stasiun paling timur di Daop 5 Purwokerto ini terletak di ketinggian +63 meter di atas permukaan laut.
Tampak beranda Stasiun Purworejo |
Tampak dalam Stasiun Purworejo, atap bangunan melengkung ini jadi salah satu ciri khasnya |
Tuas wesel di depan bangkai toilet Stasiun Purworejo |
Surya berpose di depan Stasiun Purworejo, yang meski jadi museum pun tetap terbengkalai |
'Konon dulunya rel kereta di Purworejo ini akan diteruskan pembangunannya hingga ke Magelang,' tutur kata penjaga Museum Stasiun Purworejo itu masih menggema di ingatan.
Melihat kontur Menoreh yang membelah kedua kabupaten ini relatif berbukit-bukit, tampaknya tidak mungkin dulu Hindia - Belanda berencana membangun kereta ke arah Magelang. Stasiun Purworejo pun kini menjadi satu dari tiga stasiun terminus selain Stasiun Cilacap dan Stasiun Wonogiri.
Area emplasemen Stasiun Purworejo terlampau luas, dan bila dijadikan Depo KRL memang cocok adanya |
***
Hari kian siang, namun kami berdua tetap semangat menapaki lintas ini. Meski dari lahir hidup dan tumbuh di Purworejo, Surya belum pernah menapaki jalur lawas. Kami bergegas bergerak ke arah rel sebaliknya. Beberapa kali saya yang mengemudi harus berhenti, membuka Maps, memastikan titik biru GPS akurat, lalu menyusuri jalanan kampung guna menemukan persilangan rel kereta. Saya berulang kali mengedarkan pandangan. Terdapat beberapa patok PT. KAI meski dengan logo anak panah terpasang setidaknya 5 - 10 meter dari titik terluar rel. Sepertinya inventarisasi aset berlangsung baik, ya meski eksekusi rencana reaktivasi belum tahu kabarnya.
Plang informasi bertengger pada pohon, memberitahu para pelanggan akan relokasi toko |
Bekas tangki air guna mengisi lokomotif uap |
Surya ikut penasaran dengan tampak dalam gerbong angkutan tambang |
"Ketemu lagi kan jalurnya!" seru saya bersemangat, menunjuk arah pada rel penuh karat terkubur tanah liat.
***
Jalur rel mati suri yang kini menjadi perkebunan |
Plang di Jln. Pahlawan Purworejo ini masih ada, meski palang kereta sudah tiada |
Perlintasan di Jln. Pahlawan Purworejo yang kini tanpa palang |
Walau sudah tidak ada kereta melintas sejak 2010, jalur kereta api petak Purworejo - Kutoarjo memang baru benar-benar dinonaktifkan pada 2014 lalu. Okupansi rendah tentu jadi alasan nomor wahid. Stasiun utama di Kabupaten Purworejo justru berada di Kutoarjo. Kota kecamatan ini dulu pernah jadi ibukota karesidenan, menempatkannya sebagai pusat perputaran ekonomi kedua di Purworejo. Stasiun Kutoarjo yang notabene tergolong stasiun kelas 1 menjadi lalu lintas kereta api jarak jauh dan lokal. Dari Prambanan Ekspres hingga KA Bandara YIA (kini tidak lagi melintas ke arah Kebumen), hingga KAJJ semua berhenti di sini. Pun di stasiun ini ada kereta Kutojaya yang melayani relasi Kutoarjo - Jakarta Kota untuk Kutojaya Utara, dan Kutoarjo - Kiaracondong untuk Kutojaya Selatan. Stasiun Purworejo hanya menjalankan kereta pengumpan ke Stasiun Kutoarjo. Karena okupansi yang terlalu rendah tidak sebanding dengan operasional, jalur ini pun dimatikan.
Stasiun Purworejo di masa kolonial (Foto oleh KITLV/Leiden) |
Stasiun Purworejo pada masa Hindia - Belanda pun sebenarnya hanya jadi stasiun pendukung logistik hasil bumi dan mobilitas militer untuk bertugas di perbatasan DI. Yogyakarta. Berkaca dari Perang Jawa yang dilakukan bergerilya oleh Diponegoro pada 1825 s.d. 1830, Belanda menjadikan kota-kota di perbatasan DI. Yogyakarta sebagai basis militer, termasuk Magelang. Konektivitas kereta api pun diperlukan untuk mempercepat perpindahan pasukan. Sayangnya perencanaan dan pembangunan sarana perkeretaapian guna penunjang pertahanan berlangsung alot. Negosiasi demi negosiasi dilakukan untuk menentukan siapa yang harusnya membangun jalur kereta. Barulah pada paruh tengah abad 19, swasta dipersilakan membangun jalur kereta di Jawa. Petak Purworejo - Kutoarjo sepanjang 12 kilometer dibangun oleh Nederlandsch–Indië Staatsspoorwegen (NIS), Stasiun Purworejo pun dibangun pada 20 Juli 1887 dan selesai di awal abad 20.
***
"Pasar sing ning lor stasiun wis direlokasi Jo," tunjuk Surya ke arah bangunan pertokoan yang kini sudah berpagar seng hijau. Di balik seng itu, terdapat beberapa plang kepemilikan aset tanah dan bangunan oleh PT. KAI Daop 6 Yogyakarta.
Area emplasemen Stasiun Purworejo akan menjadi sangat luas ketika pasar di sisi utara stasiun mulai dibongkar, seng dan plang aset pun tetap kokoh berdiri |
"Jadi Pemda Purworejo selama bertahun-tahun menyewa lahan dan bangunan ini dari PT. KAI. Dulu pas mau direlokasi Pemda, para pedagang dengan keras menolak. Alasan Pemda mau relokasi karena harga sewa tempat makin mahal. Eh giliran awal tahun ini para warga setuju aja direlokasi Pemda, karena lahannya mau dipake KAI lagi," Surya sedikit terkekeh. Sadar kalau ada orang lain di sekitar, Ia lantas diam. Isu relokasi tampaknya masih cukup hangat walau kami sudah di penghujung Januari.
Beberapa waktu yang lalu saya melihat dari akun @ditjenperkeretaapian kalau Menhub berencana mengekspansi KRL hingga Stasiun Madiun dan Stasiun Purworejo. Beliau menyampaikan celetukan itu ketika sedang melakukan ground breaking proyek kereta layang lintas Stasiun Solo Balapan hingga Stasiun Kadipiro. Sebelumnya, jalur KRL pertama di luar Jabodetabek dibangun di trase Jogja - Solo (Joglo) tahap 1 dan resmi beroperasi pada Maret 2021. Untuk pengembangan berikutnya (tahap 2) memang direncanakan ke arah barat guna menyokong mobilitas di daerah Jawa Tengah selatan. Selain itu, Yogyakarta memang sudah lama dicanangkan sebagai megapolitan Kartamantul (Yogyakarta - Sleman - Bantul). Adanya KRL akan merangsang pertumbuhan ekonomi tak hanya di Kartamantul saja, melainkan daerah aglomerasi di sekitarnya.
Menurut rumor yang beredar, Stasiun Purworejo dengan emplasemen seluas itu tak hanya akan dijadikan sebagai stasiun pengangkutan penumpang. Akan dibangun beberapa trek tambahan serta depo KRL untuk lintas layanan Jogja - Kutoarjo. Tentu saja mengaktifkan kembali Stasiun Purworejo akan jadi pilihan mengingat Depo Stasiun Kutoarjo sudah digunakan untuk KAJJ. Rencana aktivasi ini kian terlihat progresnya ketika Pasar Purworejo dipindah ke pasar baru di Brongkelan. Semoga lekas terwujud karena tentu ekonomi setempat akan terbangun, asal Pemkab Purworejo responsif.
***
Dari jalan lingkar Purworejo, saya dan Surya memilih melewatkan petak lurus dan mengambil jalan pintas langsung menuju Kutoarjo. Jalan Nasional 3 masih tetap sibuk dengan hilir mudik kendaraan. Saya benci lewat jalan ini. Selain kelasnya sebagai jalan nasional yang dikelola Pemerintah Pusat, kondisinya sangat memperihatinkan. Aspal berlubang besar dan bergelombang parah. Sangat disarankan untuk berkendara pada kecepatan standar - rendah dengan konsentrasi tinggi di sini.
Plang peringatan ini relatif masih baik, menunjukkan jalur ini belum lama mati |
"Perlintasane ning kene," tunjuk Surya semangat. Sebenarnya saya sudah tahu kalau ada perlintasan di sini sejak 2020 ketika saya bersepeda ke Jakarta. Tapi pura-pura antusias dan tidak tahu juga perlu sih. 😅
Dari Jalan Nasional 3, kami memasuki jalan perkampungan lagi. "Nek ra salah ning kene ono rangkaian kereta barang nganggrok ngono," saya tidak paham. Kenapa KAI menganggurkan kereta barang di area kampung.
Perlintasan rel kereta trase Purworejo - Kutoarjo dengan Jln. Nasional 3 |
Saya sesekali mendokumentasikan diri, mumpung ada partner yang menemani |
Gerbong terbengkalai ini cakep untuk dijadikan tempat foto estetik |
Surya penasaran dengan tampak dalam gerbong ini, yang hampa |
Surya menahan pose hingga KAJJ lewat |
Mulanya saya tidak begitu yakin, namun begitu menemukan perlintasan di Dusun Besole, saya terkesima. Rangkaian kereta angkutan hasil tambang teronggok begitu saja di trek perlintasan. Bukan hanya 1 - 2 kereta saja, melainkan puluhan. Iya, puluhan kereta membentuk satu rangkaian panjang, mirip kereta api batu bara rangkaian panjang alias babaranjang. Segera saya naiki kereta, berfoto dengan 'monumen' bukti terbengkalainya lintasan ini. Surya yang awalnya sudah tahu kereta ini pun tergoda untuk foto-foto. Kapan lagi kan ya?
Saya (sesekali) berpose di gerbong yang jadi saksi matinya jalur ini |
Puoooooong...
Terdengar sayup-sayup klakson kereta dari balik pepohonan kelapa. Tampaknya kami sudah dekat dengan percabangan kereta antara lintas utama selatan Jawa dengan terminus Purworejo. Segera saya dan Surya menerka arah percabangan dengan menembus jalan perkampungan. Sepanjang jalan kampung, rel kereta api bersisian. Dan di sepanjang jalan ini pula gerbong demi gerbong angkutan tambang bersambungan.
Surya berpose dengan latar rangkaian gerbong yang ditinggalkan begitu saja. Beberapa kali KAJJ melintasi kami, dan momen yang sayang dilewatkan |
Sampailah kami di titik percabangan ke arah Purworejo. Segera saya parkirkan motor, mengikuti rel kereta hingga ke awal percabangan. Beberapa kali kami berpapasan dengan kereta penumpang di jalur aktif. Momen ketika CC203 menikung, melewati rangkaian gerbong angkutan tambang yang teronggok begitu saya tampak syahdu. Saya dan Surya melanjutkan jalan kaki hingga ke bibir sungai. Pada Jembatan Kali Jali dengan tiga trek kereta ini, terukir angka 1868. Mungkin saja jembatan ini dibangun pada tahun tersebut, namun baru tersambung ke Purworejo pada 1887.
***
Episode eksplorasi jalur kereta di Purworejo berakhir. Sebelum benar-benar pulang, saya diuber Surya ke Es Dawet Jembut Kecabut yang khas itu. Letaknya di ujung barat kabupaten. Dahaga sirna, kami kembali ke kota. Di kota, saya menyantap Bakso Super yang kelewat populer di Purworejo. Saking terkenalnya, tempat ini penuh ketika kami kunjungi.
Angka 1868 kemungkinan menunjukkan tahun dimana Jembali Kali Jali dibangun dengan (awalnya) dua rel dengan percabangan berbeda |
Well, mungkin saya akan kembali lagi ke Purworejo suatu hari nanti, dengan petualangan baru menjelajah histori.